Senin, 27 Juli 2020

"Khatib Memegang Pedang Saat Khutbah, Bolehkah ?"

Oleh : K.H.Ma'ruf Khozin (Direktur Aswaja NU Center, Jawa Timur).

Dipihak lain, dimasa tersebut bersamaan dengan masa Kerajaan Romawi dan Kekaisaran Persi. Mereka menjajah beberapa negara diwilayah Arab. Dimasa Sayyidina Umar ekspansi penyebaran Islam mulai memasuki ke wilayah kekuasaan negara jajahan mereka. Perang pun tidak dapat dihindari.

Perang terus berlanjut dimasa-masa Dinasti Islam, baik Umayyah, Abbasiyyah, hingga Utsmaniyah, dengan salah satu pemimpin-nya yang terkenal Sultan Muhammad Alfatih II yang berhasil menaklukkan Konstantinopel dan merubah-nya menjadi Istanbul, Turki, dan menjadikan Gereja sebagai Masjid.

Karena sejarah panjang inilah Khatib pertama kemarin (di Hagia Sophia, 24 Juli 2020) menggunakan pedang. Apakah harus pedang ? Tidak juga. Tongkat juga boleh. Berikut penjelasan 'Ulama Syafi'iyah, Asy-Syaikh Khatib Asy-Syirbini :

(ﻭﻳﻌﺘﻤﺪ) ﻧﺪﺑﺎ (ﻋﻠﻰ ﺳﻴﻒ ﺃﻭ ﻋﺼﺎ ﻭﻧﺤﻮﻩ) ﻛﻘﻮﺱ ﻟﺨﺒﺮ ﺃﺑﻲ ﺩاﻭﺩ ﺑﺈﺳﻨﺎﺩ ﺣﺴﻦ «ﺃﻧﻪ – ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻗﺎﻡ ﻓﻲ ﺧﻄﺒﺔ اﻟﺠﻤﻌﺔ ﻣﺘﻮﻛﺌﺎ ﻋﻠﻰ ﻗﻮﺱ ﺃﻭ ﻋﺼﺎ»

Dianjurkan Khatib bertumpu pada pedang atau tongkat dan lain-nya, seperti panah. Berdasarkan hadits Abu Dawud dengan sanad yang Hasan bahwa Nabi SAW berdiri saat khutbah Jum'at berpegangan pada anak panah atau tongkat.

ﻭﺣﻜﻤﺘﻪ اﻹﺷﺎﺭﺓ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻫﺬا اﻟﺪﻳﻦ ﻗﺎﻡ ﺑﺎﻟﺴﻼﺡ، ﻭﻟﻬﺬا ﻳﺴﻦ ﺃﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺫﻟﻚ ﻓﻲ ﻳﺪﻩ اﻟﻴﺴﺮﻯ ﻛﻌﺎﺩﺓ ﻣﻦ ﻳﺮﻳﺪ اﻟﺠﻬﺎﺩ ﺑﻪ

Hikmah memegang pedang adalah untuk isyarat bahwa agama ini tegak dengan senjata. Maka dianjurkan memegang senjata dengan tangan kiri seperti orang yang hendak berjihad. [Kitab Mughnil Muhtaj, Juz I, Hal.557].

Namun ada juga penyebaran Islam dimasa Nabi SAW yang tidak menggunakan cara perang.

ﻋﻦ اﺑﻦ ﻋﺒﺎﺱ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ، ﻗﺎﻝ: ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻤﻌﺎﺫ ﺑﻦ ﺟﺒﻞ ﺣﻴﻦ ﺑﻌﺜﻪ ﺇﻟﻰ اﻟﻴﻤﻦ

Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW berpesan kepada Mu'adz Bin Jabal saat Nabi mengutus-nya ke Yaman :

«ﺇﻧﻚ ﺳﺘﺄﺗﻲ ﻗﻮﻣﺎ ﻣﻦ ﺃﻫﻞ اﻟﻜﺘﺎﺏ، ﻓﺈﺫا ﺟﺌﺘﻬﻢ ﻓاﺩﻋﻬﻢ ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻳﺸﻬﺪﻭا ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ اﻟﻠﻪ، ﻭﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪا ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﻓﺈﻥ ﻫﻢ ﻃﺎﻋﻮا ﻟﻚ ﺑﺬﻟﻚ، ﻓﺄﺧﺒﺮﻫﻢ ﺃﻥ اﻟﻠﻪ ﻗﺪ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺧﻤﺲ ﺻﻠﻮاﺕ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻳﻮﻡ ﻭﻟﻴﻠﺔ

Kau akan mendatangi kaum dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Ajaklah mereka bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya. Jika mereka menerima maka sampaikan bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shalat 5 kali dalam sehari semalam.

ﻓﺈﻥ ﻫﻢ ﻃﺎﻋﻮا ﻟﻚ ﺑﺬﻟﻚ ﻓﺄﺧﺒﺮﻫﻢ ﺃﻥ اﻟﻠﻪ ﻗﺪ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺻﺪﻗﺔ، ﺗﺆﺧﺬ ﻣﻦ ﺃﻏﻨﻴﺎﺋﻬﻢ ﻓﺘﺮﺩ ﻋﻠﻰ ﻓﻘﺮاﺋﻬﻢ»

Jika mereka mematuhi mu maka sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat kepada mereka, yang diambil dari orang-orang kaya dan dikembalikan kepada orang-orang miskin mereka. [H.R.Bukhari].

Cara mendakwahkan Islam dengan damai dan tanpa perang inilah yang digunakan para 'ulama kita di Indonesia. Khutbah Jum'at pun Khatib tidak memegang pedang, tetapi tongkat.

Penulis : Ghozali Hasan Siregar Almandili.

Sabtu, 04 Juli 2020

"Perbedaan Pendapat Mengenai Hukum Aqiqah."

Oleh : K.H.Ahmad Rusdi, Lc, M.Pd (Pembina Persada NU).

Dalam konteks lahir-nya anak, ungkapan rasa syukur adalah dengan bentuk menunaikan kesunnahan Aqiqah bila mampu. Terkait hukum aqiqah, ada perbedaan pendapat diantara para 'ulama, secara ringkas berikut (mengutip dari Kitab Tarbiyatul Awlad Fiil Islam, karangan Asy-Syaikh Dr.Abdullah Nashih Ulwan, cetakan Darussalam, tahun 2013, Hal.74) :

• Pendapat yang mengatakan disunnahkan dan tidak wajib. Ini menurut Al-Imam Malik, Ahlul Madinah, Al-Imam Syafi'i dan sahabat-sahabatnya, Al-Imam Ahmad, Al-Imam Ishaq, Abu Tsaur, dan sebagian besar ahli fiqih, ilmuan, dan ijtihad.

• Pendapat yang mengatakan aqiqah hukum-nya wajib, yaitu Al-Imam Hasan Al-Bashri, Al-Laits Ibn Sa'ad.

• Pendapat yang menolak disyariatkan-nya aqiqah. Mereka adalah ahli fiqih Hanafiyah.

Sebagai tambahan, masalah aqiqah dalam madzhab Hanafi ada ikhtilaf diantara 'ulama atau fuqaha (ahli fiqih) Hanafiah, jadi tidak satu pendapat. Ada yang berpendapat hukum-nya sunnah, mubah, dan yang terakhir mansukh atau aqiqah sudah tidak disyariatkan. [Lihat didalam Kitab Syarah Mukhtashar Ath-Thahawi., dan Kitab Shahih Ibn Hibban Bi Tartib Ibn Balban, Juz I, pada bahasan Kitab Al-Ath'imah, Al-Asyrabah, Al-Libas].

Tidak perlu heran, dan hendak-nya kita biasa saja menyikapi ada-nya perbedaan pendapat ini. Karena perbedaan pendapat diantara 'ulama bisa terjadi baik antar 'ulama madzhab maupun diantara 'ulama internal madzhab. Dan harus diakui, perbedaan pendapat ini justru menjadi salah satu penyumbang kekayaan khazanah intelektual Islam.    
 
Dengan tidak menafikan dan dengan tetap Ihtiram terhadap pendapat yang lain, namun dari tiga pendapat diatas yang merupakan pendapat umum dikalangan ummat Islam adalah pendapat yang pertama. Dan Jika ingin merujuk tentang pendapat-pendapat tersebut, disamping kitab yang saya kutip diatas, silahkan lihat Kitab Ahkamul Aqiqah Fiil Fiqhil Islami, karangan Asy-Syaikh Said Assiddawi., Kitab Al-Fiqhul Islamii Wa Adillatuhu, karangan Asy-Syaikh Dr.Wahbah Azzuhailiy, Jilid III.

Penulis : Ghozali Hasan Siregar Almandili.