Hukum-nya Aqiqah adalah Sunnah Mu'akkadah, sunnah yang dikuatkan. Disunnahkan di Aqiqah pada hari ke-7, atau ke-14, atau ke-21 dan kelipatan 7.
Jika seorang ayah tidak mengaqiqahkan anak-nya maka anak tersebut tergadaikan.
رسول الله صلى الله عليه وسلم قَالَ : كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى.
Dari Samurah Bin Jundub, Rasulullah SAW bersabda : 'Setiap anak tergadaikan dengan Aqiqah-nya, disembelihkan untuk-nya pada hari ketujuh, digundul rambut-nya, dan diberi nama.'
[H.R.Abu Dawud, No.2838. Annasai, No.4220. Ibnu Majah, No.3165. Ahmad 5/12].
'Ulama menafsirkan kata 'Tergadai' dengan beragam pendapat; ada yang mengatakan jika si anak meninggal sebelum dewasa (Baligh) dan belum di Aqiqah, maka orang tua-nya tidak bisa mendapatkan syafa'at dari si anak.
Ada yang mengatakan maksud tergadaikan, terselamatkan dari bahaya bagi si anak.Ada juga yang mengatakan tergadaikan, yaitu belum selamat dari (kekangan) setan. Dan lain-lain.
Jika orang tua-nya tidak mampu mengaqiqahkan anak-nya, maka tidak berdosa, tetapi belum gugur sunnah Aqiqah-nya. Jika si anak sudah dewasa, jika diri-nya mampu untuk mengaqiqahkan diri-nya sendiri untuk menggugurkan sunnah mengaqiqahkan atas diri-nya sendiri maka tidak mengapa, alias dibolehkan.
Al-Imam Nawawi didalam Kitab Al-Majmu', Hal.8/412, berkata :
قَالَ أَصْحَابُنَا : وَلَا تَفُوتُ بِتَأْخِيرِهَا عَنْ السَّبْعَةِ. لَكِنْ يُسْتَحَبُّ أَنْ لَا يُؤَخِّرَ عَنْ سِنِّ الْبُلُوغِ. قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْبُوشَنْجِيُّ مِنْ أَئِمَّةِ أَصْحَابِنَا : إنْ لَمْ تُذْبَحْ فِي السَّابِعِ ذُبِحَتْ فِي الرَّابِعَ عَشَرَ، وَإِلَّا فَفِي الْحَادِي وَالْعِشْرِينَ، ثُمَّ هَكَذَا فِي الْأَسَابِيعِ. وَفِيهِ وَجْهٌ آخَرُ أَنَّهُ إذَا تَكَرَّرَتْ السَّبْعَةُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَاتَ وَقْتُ الِاخْتِيَارِ. قَالَ الرَّافِعِيُّ : فَإِنْ أَخَّرَ حَتَّى بَلَغَ سَقَطَ حُكْمُهَا فِي حَقِّ غَيْرِ الْمَوْلُودِ. وَهُوَ مُخَيَّرٌ فِي الْعَقِيقَةِ عَنْ نَفْسِهِ قَالَ : وَاسْتَحْسَنَ الْقَفَّالُ وَالشَّاشِيُّ أَنْ يَفْعَلَهَا، لِلْحَدِيثِ الْمَرْوِيِّ أَنَّ النَّبِيَّ صلىوسلمُ : عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ" وَنَقَلُوا عَنْ نَصِّهِ فِي "الْبُوَيْطِيِّ" أَنَّهُ لَا يَفْعَلُهُ وَاسْتَغْرَبُوهُ. هَذَا كَلَامُ الرَّافِعِيِّ وَقَدْ رَأَيْت أَنَا نَصَّهُ فِي "الْبُوَيْطِيِّ" قَالَ : وَلَا يَعُقُّ عَنْ كَبِيرٍ. هَذَا لَفْظُهُ بِحُرُوفِهِ نَقَلَهُ مِنْ نُسْخَةٍ مُعْتَمَدَةٍ عَنْ الْبُوَيْطِيِّ وَلَيْسَ هَذَا مُخَالِفًا لِمَا سَبَقَ. ؛ لِأَنَّ مَعْنَاهُ "لَا يَعُقُّ عَنْ الْبَالِغِ غَيْرُهُ" وَلَيْسَ فِيهِ نَفْيُ عَقِّهِ عَنْ نَفْسِهِ.
'Ulama Syafi'iyah menyatakan : 'Mengakhirkan Aqiqah dari hari ketujuh tidak dianggap terlambat. Akan tetapi disunnahkan tidak mengakhirkan-nya sampai usia Aqil Baligh.'
Abu Abdillah Al-Busyanji, salah satu 'ulama madzhab Syafi'i, berkata : 'Apabila Aqiqah tidak dilakukan pada hari ketujuh maka dilakukan di hari ke-14, kalau tidak pada hari ke-21, demikian seterus-nya kelipatan tujuh. Ada pendapat lain bahwa apabila tujuh berulang sampai tiga kali maka habislah masa memilih.'
Imam Rofi'i berkata : 'Apabila mengakhirkan Aqiqah sampai Aqil Baligh maka gugur hukum Aqiqah bagi selain anak yang lahir. Ia boleh Aqiqah untuk dir-inya sendiri.' Imam Rafi'i berkata : 'Al-Qaffal dan Al-Syasyi menganggap baik melakukan-nya (Aqiqah untuk diri sendiri) berdasarkan Hadits yang diriwayatkan bahwa Nabi mengaqiqahi diri-nya sendiri setelah kenabian. Para perawi menukil dari Al-Buwaiti bahwa Nabi tidak melakukan-nya dan menganggap Hadits ini Gharib (Dha'if). Ini pendapat Rofi'i.'
Saya (Al-Imam Nawawi) telah melihat sendiri teks pendapat ini dalam Al-Buwaiti, ia berkata : 'Tidak perlu Aqiqah untuk orang yang sudah Baligh.'
Ini kutipan langsung yang dikutip oleh Al-Buwaiti dari naskah yang dapat dipercaya dan ini tidak berlawanan dengan keterangan yang sudah lalu, karena maksud-nya adalah 'Orang Baligh tidak perlu diaqiqahi oleh orang lain.' Ini bukan berarti melarang orang Baligh beraqiqah untuk diri-nya sendiri.
Penulis : Ghozali Hasan Siregar Almandili.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar