Oleh : Al-Ustadz Galih Maulana, Lc.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda dalam muqaddimah khutbah-nya :
فإن خير الحديث كتاب الله، وخير الهدى هدى محمد، وشر الأمور محدثاتها، و"كل" بدعة ضلالة
Artinya "Sesungguh-nya sebaik-baik perkataan adalah kitab Allah, sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru, dan setiap bid'ah (hal baru) adalah sesat." [H.R.Muslim].
Juga dalam riwayat lain :
وشر الأمور محدثاتها، وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار
Artinya : "Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang baru, dan setiap bid'ah (hal baru) adalah sesat, dan setiap kesesatan akan masuk neraka." [H.R.Annasa'i].
• Memahami Hadits Butuh Ilmu.
Untuk memahami kandungan sebuah hadits, apalagi yang berkaitan dengan hukum, seseorang tidak bisa seenak-nya saja mengartikan maksud hadits dan menarik kesimpulan hukum tanpa dasar ilmu.
Ibnu Uyainah (wafat 198 H) berkata :
الحديث مضلة إلاّ للفقهاء
Artinya : "Hadits itu menyesatkan kecuali bagi Fuqaha (ahli fiqih)."
Ibnu Hajar Al-Haitami (wafat 974 H) menjelaskan, maksud perkataan tesebut adalah karena hadits-hadits Nabi itu seperti Al-Qur'an, ada lafadz-lafadz yang umum tetapi maksud-nya khusus, atau sebalik-nya, ada juga lafadz-lafadz yang sudah dimansukh dan lain-lain, yang mana semua itu tidak diketahui kecuali oleh para Fuqaha, adapun orang awam yang tidak mengetahui hal-hal ini, akan salah dalam memahami maksud sebuah hadits, sehingga tersesat. [Kitab Fatawa Al-Haditsiyah, Hal.283].
Al-Khatib Al-Baghdadi (wafat 463 H) dalam kitab-nya, Nashihatu Ahlil Hadits bercerita :
"Suatu ketika Al-A'masyi (wafat 148 H) seorang Muhaddits, duduk bersama Imam Abu Hanifah (wafat 150 H) seorang Imam ahli fiqih. Datanglah seorang laki-laki bertanya suatu hukum kepada Al-A'masyi. Al-'Amasyi berkata : 'Wahai Nu'man (Imam Abu Hanifah), jawablah pertanyaan itu.' Akhir-nya Imam Abu Hanifah menjawab pertanyaan itu dengan baik. Al-A'masyi kaget dan bertanya : 'Darimana kamu dapat jawaban itu wahai Abu Hanifah ?' Imam Abu Hanifah menjawab, 'Dari hadits yang engkau bacakan kepada kami.' Al-A'masyi menimpali :
نعم نحن صيادلة وأنتم أطباء
Artinya : 'Benar, kami ini apoteker dan kalian adalah dokter-nya.'" [Kitab Nashihatu Ahlil Hadits, Karangan Abu Bakar Al-Khatib Al-Baghdadi, Cetakan Maktabah Al-Manar - Tahun 1408, Hal.44].
Imam Ahmad (wafat 241 H) berkata :
لا يستغنى صاحب الحديث من كتب الشافعى وقال: ما كان أصحاب الحديث يعرفون معانى أحاديث رسول الله ﷺ فبينها لهم
Artinya : "Para Ahli Hadits tidak bisa terlepas dari kitab-kitab Imam Syafi'i, beliau berkata : 'Para ahli hadits dahulu tidak paham makna-makna hadits, maka Imam Syafi'i menjelaskan maksud-nya.'" [Kitab Tahdzib Al-Asma Wal Lughat].
Begitulah, para 'ulama dahulu sangat paham bagaimana menerima, menyampaikan, memahami, dan mengamalkan sebuah hadits. Para periwayat hadits kadang tidak begitu paham apa maksud dari hadits yang diriwayatkan-nya, mereka hanya menyampaikan apa yang didengar sebagaimana ada-nya, ini karena mereka mengamalkan hadits Rosulullah ﷺ :
نضر الله امرأ سمع منا حديثا، فحفظه حتى يبلغه، فرب حامل فقه إلى من هو أفقه منه، ورب حامل فقه ليس بفقيه
Artinya : "Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits dari ku, lalu dia menghafal-nya kemudian dia menyampaikan-nya (kepada orang lain), terkadang orang yang membawa ilmu menyampaikan-nya kepada orang yang lebih paham dari-nya, dan terkadang orang yang membawa ilmu tidak memahami-nya." [H.R.Abu Dawud].
Untuk memahami maksud dari sebuah hadits atau Fiqh Al-Hadits, kita harus bertanya kepada Fuqaha (ahli fiqih), sebagaimana sudah disebutkan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami diatas. Kenapa bertanya kepada Fuqaha ? Karena merekalah yang mampu meng-istinbath (menarik kesimpulan hukum) dari teks-teks syar'i baik itu Al-Qur'an ataupun hadits Nabi.
Kembai ke lafadz 'kullu', untuk memahami lafadz kullu yang ada dalam hadits Nabi diatas kita harus merujuk kepada penjelasan para Fuqaha, apa yang dikatakan mereka tentang maksud dari lafadz 'kullu' ini.
• Penjelasan ahli ilmu tentang 'Kullu Bid’atin Dhalalah'.
Al-Imam Nawawi (wafat 676 H) berkata :
وكل بدعة ضلالة هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع
Artinya : "Setiap bid'ah adalah sesat, lafadz setiap (kullu) disini adalah lafadz umum yang bermaksud khusus, yaitu maksud-nya sebagian besar bid'ah." [Kitab Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim Bin Al-Hajaj].
Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H) berkata :
والمراد بقوله كل بدعة ضلالة ما أحدث ولا دليل له من الشرع بطريق خاص ولا عام
Artinya : "Yang dimaksud dengan ucapan baginda Nabi ﷺ, 'Setiap Bid'ah Adalah Sesat' adalah sesuatu yang baru yang tidak punya dalil dari syari'at, baik dalil itu secara umum atau secara khusus." [Kitab Fathul Bari Syarh Shahih Albukhari].
Ibnu Taimiyah (wafat 728) berkata :
والبدع المكروهة ما لم تكن مستحبة في الشريعة. وهي أن يشرع ما لم يأذن به الله فمن جعل شيئا دينا وقربة بلا شرع من الله فهو مبتدع ضال. وهو الذي عناه النبي صلى الله عليه وسلم بقوله: كل بدعة ضلالة فالبدعة ضد الشرعة والشرعة ما أمر الله به ورسوله أمر إيجاب أو أمر استحباب وإن لم يفعل على عهده كالاجتماع في التراويح على إمام واحد وجمع القرآن في المصحف. وقتل أهل الردة والخوارج ونحو ذلك. وما لم يشرعه الله ورسوله فهو بدعة وضلالة
Artinya : "Dan bid'ah yang dibenci adalah apa-apa yang tidak dianjurkan oleh syari'at, yaitu membuat syari'at baru yang tidak diperintahkan Allah. Siapa orang yang membuat sesuatu sebagai agama dan cara mendekatkan diri kepada Allah tanpa syari'at dari Allah, maka dia seorang ahli bid'ah. Itulah bid'ah yang dimaksud dalam ucapan baginda Nabi ﷺ, 'Setiap Bid'ah Adalah Sesat'. Jadi, bid'ah itu adalah lawan dari syari'at, syari'at itu adalah apa yang diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya, baik itu perintah wajib atau anjuran, walaupun perkara itu belum pernah terjadi dimasa Nabi, seperti tarawih berjama'ah, mengumpulkan Al-Qur'an dalam mushaf, membunuh orang-orang murtad atau Khawarij dan sebagai-nya. Apa yang tidak disyari'atkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka itu adalah bid'ah dan kesesatan." [Kitab Majmu' Al-Fatawa].
Jelas sudah dari kesimpulan penjelasan para 'ulama diatas, bahwa maksud dari hadits Nabi 'Kullu Bid'atin Dhalalah' adalah sebagian bid'ah, bid'ah yang sesat adalah bid'ah yang bertentangan dengan syari'at Islam dan tidak mempunyai landasan dalil, baik dalil itu sifat-nya umum atau khusus, adapun bid'ah (hal baru) yang tidak bertentangan dengan syari'at (karena memiliki substansi ajaran Islam) serta memiliki landasan dalil maka itu bukan bid$ah yang sesat.
Inilah kesimpulan yang dijelaskan oleh Mujtahid mutlak Al-Imam Syafi'i RA (wafat 204 H) yang dinukil oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani :
البدعة بدعتان محمودة ومذمومة. فما وافق السنة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم
Artinya : "Bid'ah itu ada dua, Mahmudah (terpuji) dan Madzmumah (tercela), apa yang sesuai dengan sunnah adalah bid'ah terpuji sedang yang bertentangan dengan sunnah adalah bid'ah tercela."
Ada juga riwayat dari Al-Imam Al-Baihaqi (wafat 458 H) :
المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه بدعة الضلال. وما أحدث من الخير لا يخالف شيئا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة
Artinya : "Perkara baru ada dua, yang pertama yang menyelisihi Al-Qur'an dan sunnah Nabi atau atsar sahabat atau Ijma', maka perkara baru ini adalah bid'ah yang sesat. Yang kedua adalah perkara baru yang tidak menyelisihi hal-hal diatas, maka ini adalah bid'ah yang tidak tercela." [KitabFathul Bari Syarh Shahih Albukhori].
Mengapa para 'ulama bisa berkesimpulan seperti ini ? Jelas karena mereka mamiliki ilmu yang luas dan perangkat untuk ber-istinbath. Dengan keluasan ilmu dan pemahaman yang dalam tentang cara menarik kesimpulan hukum inilah para 'ulama mampu melihat dengan jernih maksud dari teks-teks syar'i.
• Lalu, 'Kullu' itu maksud-nya setiap atau sebagian ?
Mungkin ada yang bertanya, kalau makna dari 'kullu' adalah sebagian, berarti ada sebagian kesesatan yang tidak di neraka alias di surga ? Karena hadits Nabi berbunyi : "Kullu Dhalalatin Fiinnar : Setiap Kesesatan Di Neraka". Pertanyaan tersebut bisa dijawab baik secara Naqli (teks syar'i), aqli (logika), ataupun bahasa.
a. Secara naqli, dalam memahami suatu teks syar'i baik itu Al-Qur'an atau hadits Nabi, yang pertama dilakukan adalah mencari teks-teks sejenis atau yang berkaitan dengan teks yang akan dibahas tersebut.
Dalam hadits 'Kullu Bid'atin Dhalalah', untuk memahami maksud-nya adalah dengan mencari hadits-hadits lain yang serupa atau yang berkaitan, kemudian setelah terkumpul semua hadits yang sejenis diambil benang merah-nya atau bahasa lain-nya dikompromikan, istilah ini dalam ushul fiqih disebut Al-Jam'u Wattaufiq. Salah satu metode mengkompromi dalil-dalil apabila terlihat bertentangan adalah Takhsisul 'Am, yaitu membawa makna hadits yang bersifat 'Am atau umum kepada hadits yang bersifat Khas atau khusus. Tentang mengkhususkan dalil yang bersifat umum ini, Ibnu Qudama Al-Maqdisi berkata :
في الأدلة التي يخص بها العموم لا نعلم اختلافًا في جواز تخصيص العموم
Artinya : "Tentang dalil-dalil yang mengkhusukan dalil umum, kami tidak tahu ada perselisihan 'ulama tentang boleh-nya mengkhususkan yang umum." [Kitab Raudhah Annadhir Wa Kunnat Al-Munadhir].
Pertanyaan-nya adalah, ada tidak hadits lain yang serupa dengan hadits ini ? Ternyata ada, yaitu hadits Nabi yang berbunyi :
من سن في الإسلام سنة حسنة، فله أجرها، وأجر من عمل بها بعده، من غير أن ينقص من أجورهم شيء
Artinya : "Siapa orang yang membuat sunnah yang baik dalam Islam, maka bagi-nya pahala-nya dan pahala orang yang mengikuti perbuatan itu setelah-nya tanpa dikurangi pahala mereka (yang mengikuti) sedikit pun." [H.R.Muslim].
'Sanna' sendiri berarti melakukan sesuatu yang baru kemudian diikuti oleh orang lain, dalam Mu'jam Al-Wasith disebutkan :
وكل من ابتدأ أمرا عمل به قوم من بعده فهو الذي سنه
Artinya : "Setiap orang yang memulai suatu hal kemudian diikuti oleh orang lain maka dia sudah membuat sunnah." [Kitab Al-Mu'jam Al-Wasith].
Tentu penilaian apakah perbuatan yang dia lakukan menjadi sunnah yang baik atau tidak, dilihat dengan kacamata syari'at.
Hadits lain yang serupa yaitu sabda Nabi ﷺ :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Artinya : "Siapa orang yang membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak berasal dari-nya, maka perkara tersebut tertolak." H.R.Bukhari dan Muslim].
Hadits diatas Mafhum-nya adalah bahwa apabila perkara baru tidak berasal dari agama maka tertolak, tetapi apabila perkara baru tersebut ada asal-nya dari agama maka tidak tertolak.
Hadits 'Kullu Bid'atin Dhalalah' adalah hadits umum, kenapa ? Karena salah satu lafadz yang menunjukan keumuman adalah 'Kullu', sebagaimana disebutkan para 'ulama Ushul. [Kitab Raudhah Annadhir Wa Junnat Al-Munadhir].
Sedangkan hadits 'Man Sanna Fiil Islam' juga hadits 'Man Ahdatsa' bersifat khusus, karena memberi informasi spesifik. Inilah yang dikatakan oleh Imam Nawawi :
هذا عام مخصوص والمراد غالب البدع
Artinya : "Hadits ini hadits umum yang dikhususkan, maksud-nya adalah sebagian bid'ah."
Dua hadits yang seolah bertentangan ini dikompromi dengan cara Takhsisul 'Am alias mengkususkan yang umum, hasil-nya adalah sebuah kesimpulan, bahwa tidak setiap hal baru (bid'ah) bersifat sesat, karena Nabi mengatakan ada hal baru yang bersifat baik.
Jadi, mengartikan lafadz 'kullu' itu bukan masalah 'semua' atau 'sebagian', tetapi ada tidak dalil takhsis (yang mengkhususkan-nya) ? Apabila ada, maka makna-nya sebagian, apabila tidak ada maka makna-nya setiap atau semua, seperti 'Kullu Dhalalatin Fiinnar' lafadz 'kullu' disini tidak ada dalil lain untuk men-takhsis-nya (mengkhususkan maksud-nya) sehingga makna-nya 'semua' atau 'setiap'.
b. Secara Aqli atau logika, apabila mengartikan 'kullu' dalam hadits Nabi itu dengan 'setiap' atau 'semua' maka akan berakibat fatal, karena semua hal baru, baik bersifat keduniaan atau bersifat keagamaan, akan mendapat sifat bid'ah, dan segala sesuatu yang bid'ah akan masuk neraka. Kenapa ? Karena redaksi hadits Nabi jelas mengatakan 'Setiap hal baru adalah bid'ah' tanpa membedakan antara masalah duniawi atau masalah agama.
وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
Artinya : "Setiap hal baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat."
Jadi, kalau mau konsisten mengartikan 'kullu' bermakna 'semua' dan tidak mau menerima dalil takhsis, maka mobil, HP, laptop, dan semua hal baru yang belum ada dizaman Nabi adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah di Neraka. Tentu-nya syari'at Islam tidak bermaksud seperti itu.
c. Secara bahasa, 'kullu' juga bisa bermakna 'semua' juga bisa bermakna 'sebagian', Imam Al-Fairuz Abadi (wafat 817 M) seorang Imam Ahli Lughah (ahli bahasa) dalam Mu'jam-nya berkata :
الكل، بالضم: اسم لجميع الأجزاء، للذكر والأنثى، أو يقال: كل رجل، وكلة امرأة، وكلهن منطلق ومنطلقة، وقد جاء بمعنى بعض
Artinya : "Kullu dengan Kaf dhammah, adalah nama bagi semua bagian, baik bagi kata Maskulin atau Feminim. Ada pula yang mengatakan bagi maskulin 'kullu', bagi feminim 'kullatu'. (Dikatakan) 'Kulluhunna Munthaliq' atau 'Munthaliqah'. Dan kullu juga bisa bermakna sebagian." [Kitab Mu'jam Al-Muhith].
Begitu juga Murtadha Azzabidi (wafat 1205 H) mengatakan dalam kitab-nya :
قال ابن الأثير: موضع كل، الإحاطة بالجميع، وقد جاء استعماله بمعنى بعض
Artinya : "Berkata Ibnul Atsir (wafat 606 H) ('Ulama Lughah) : 'Topik dari lafadz 'kullu' adalah makna yang mencakup kesuluruhan, dan lafadz 'kullu' juga digunakan untuk makna sebagian." [Kitab Tajul Arus].
Para 'ulama, baik 'ulama fiqih, 'ulama ushul, maupun 'ulama lughah (bahasa) bisa memahami bahwa 'kullu' bisa bermakna 'sebagian' karena mempunyai bukti dari Al-Qur'an, mereka sangat memahami keluasan bahasa dan keindahan sastra dalam Al-Qur'an.
Diantara hujjah dalam Al-Qur'an bahwa lafadz 'kullu' bisa bermakna 'sebagian' adalah ayat-ayat berikut :
وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
Artinya : "Dan dihadapan mereka ada raja yang akan merampas 'setiap' perahu." [Q.S.Al-Kahfi : 79].
Lafadz 'kullu' dalam ayat diatas bermakna sebagian, yaitu raja hanya akan mengambil setiap perahu yang bagus saja, tidak semua perahu, karena perahu yang ditumpangi oleh Nabi Musa tidak diambil oleh raja karena sudah dirusak oleh Nabi Khidir, dan memang seperti itu fakta yang terjadi dalam kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir.
تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوا لَا يُرَى إِلَّا مَسَاكِنُهُمْ كَذَلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِينَ
Artinya : "(Angin) yang menghancurkan 'segala' sesuatu dengan perintah Tuhan-nya, sehingga mereka (kaum ‘Ad) menjadi tidak tampak lagi (dibumi) kecuali hanya (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa." [Q.S.Al-Ahqaf : 25].
Allah katakan bahwa angin yang dikirim kepada kaum ‘Ad menghancurkan segala sesuatu, padahal kenyataan-nya bekas-bekas bangunan mereka masih ada, tanah, pepohonan, dan gunung-gunung masih ada serta tidak hancur. Jelas sudah bahwa maksud 'kullu' dalam ayat diatas adalah 'sebagian', bukan semua.
إِنِّي وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيمٌ
Artinya : "Sungguh ku dapati ada seorang perempuan yang memerintah mereka, dan dia dianugrahi 'segala' sesuatu serta memiliki singgasana yang besar." [Q.S.Annaml : 23].
Dalam ayat diatas Allah menghikayatkan ucapan burung Hud-Hud yang mengatakan bahwa Ratu Bilqis dianugerahi segala sesuatu, padahal kenyataan-nya tidak seperti itu, karena Ratu Bilqis tidak dianugerahi kerajaan Nabi Sulaiman. Jelas bahwa lafadz 'kullu' dalam ayat bukan bermakna 'semua' tetapi sebagian.
Masih banyak lagi ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang menjadi hujjah bahwa lafadz 'kullu' tidak selama-nya bermakna 'setiap' atau 'semua' atau 'segala', lafadz 'kullu' bisa bermakna 'sebagian' tergantung konteks dan ada tidak-nya dalil yang mentakhsiskan makna-nya.
Terakhir, penulis ingin menyampaikan, agar cara beragama kita benar, cara memahami dalil-dalil juga benar, maka kembalilah kepada Manhaj para 'ulama, itulah jalan yang lebih selamat.
Penulis : Ghozali Hasan Siregar Almandili.