Jumat, 31 Januari 2020

"Satu Catatan Dari Asy-Syaikh Nawawi Bin Umar Albantani Mengenai Tahlilan."

Oleh : Al-Ustadz Najih Bin Abdul Hamid (Pimpinan Pondok Pesantren Darul Istiqamah, Bojonegoro).

Satu catatan dari Asy-Syaikh Nawawi Bin Umar Albantani ini perlu disosialisasikan kepada warga NU (Nahdlatul 'Ulama) yang gemar tahlilan.

ﻭاﻟﺘﺼﺪﻕ ﻋﻦ اﻟﻤﻴﺖ ﺑﻮﺟﻪ ﺷﺮﻋﻲ ﻣﻄﻠﻮﺏ ﻭﻻ ﻳﺘﻘﻴﺪ ﺑﻜﻮﻧﻪ ﻓﻲ ﺳﺒﻌﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﺃﻭ ﺃﻛﺜﺮ ﺃﻭ ﺃﻗﻞ ﻭﺗﻘﻴﻴﺪﻩ ﺑﺒﻌﺾ اﻷﻳﺎﻡ ﻣﻦ اﻟﻌﻮاﺋﺪ ﻓﻘﻂ ﻛﻤﺎ ﺃﻓﺘﻰ ﺑﺬﻟﻚ اﻟﺴﻴﺪ ﺃﺣﻤﺪ ﺩﺣﻼﻥ 

ﻭﻗﺪ ﺟﺮﺕ ﻋﺎﺩﺓ اﻟﻨﺎﺱ ﺑﺎﻟﺘﺼﺪﻕ ﻋﻦ اﻟﻤﻴﺖ ﻓﻲ ﺛﺎﻟﺚ ﻣﻦ ﻣﻮﺗﻪ ﻭﻓﻲ ﺳﺎﺑﻊ ﻭﻓﻲ ﺗﻤﺎﻡ اﻟﻌﺸﺮﻳﻦ ﻭﻓﻲ اﻷﺭﺑﻌﻴﻦ ﻭﻓﻲ اﻟﻤﺎﺋﺔ ﻭﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﻳﻔﻌﻞ ﻛﻞ ﺳﻨﺔ ﺣﻮﻻ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ اﻟﻤﻮﺕ ﻛﻤﺎ ﺃﻓﺎﺩﻩ ﺷﻴﺨﻨﺎ ﻳﻮﺳﻒ اﻟﺴﻨﺒﻼﻭﻳﻨﻲ

Lanjutan-nya ini yang perlu dipahami bersama :

ﺃﻣﺎ اﻟﻄﻌﺎﻡ اﻟﺬﻱ ﻳﺠﺘﻤﻊ ﻋﻠﻴﻪ اﻟﻨﺎﺱ ﻟﻴﻠﺔ ﺩﻓﻦ اﻟﻤﻴﺖ اﻟﻤﺴﻤﻰ ﺑﺎﻟﻮﺣﺸﺔ ﻓﻬﻮ ﻣﻜﺮﻭﻩ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻣﻦ ﻣﺎﻝ اﻷﻳﺘﺎﻡ ﻭﺇﻻ ﻓﻴﺤﺮﻡ ﻛﺬا ﻓﻲ ﻛﺸﻒ اﻟﻠﺜﺎﻡ

"Makanan yang disediakan untuk orang-orang berkumpul pada malam (setelah) penguburan mayyit, yang disebut 'Wahsyah', hukum-nya Makruh selama tidak diambil dari harta anak yatim (warisan si mayyit untuk anak-nya yang belum baligh). Jika diambil dari harta yatim maka hukum-nya Haram."

Fokus : "Jika diambil dari harta (warisan) yatim maka Haram."

Penulis : Ghozali Hasan Siregar Almandili.

Kamis, 30 Januari 2020

"Amaliyah Penangkis Wabah Tha'un Disebagian Daerah Batubara Dimasa Silam."

Oleh : Al-Ustadz Ahmad Fauzi Ilyas (Direktur Pusat Studi Naskah 'Ulama Nusantara Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Arraudlatul Hasanah, Medan).

Penyakit yang sering menakutkan masyarakat secara kelompok adalah apa yang disebut dalam Islam dengan Tha'un. Ketakutan tersebut karena sifat-nya yang menular secara cepat dan dalam beberapa hal tidak ditemukan obat-nya.

Oleh sebab itu, Nabi pernah berpesan terkait mewabah-nya penyakit Tha'un ini dengan Sabda-nya : "Tha'un adalah kotoran yang diutus kepada Bani Israel atau kaum sebelum kamu, apabila kalian mendengar ia disuatu tempat, maka janganlah kalian masuk, namun jika berada pada tempat itu, hendaklah tidak keluar."

[H.R.Bukhari].

Adalah beberapa desa di Kecamatan Medang Deras Batubara seperti Pagurawan, sebagian desa Medang dan Pakam dahulu-nya pada zaman Asy-Syaikh Muhammad Zain Batubara, wabah penyakit Tha'un pernah terjadi secara meluas. Namun belum memasuki wilayah desa Lalang tempat berdiam-nya 'ulama Batubara tersebut. Agar wabah tersebut tidak menyebar secara luas, masyarakat kampung Alai yang sekarang berada disekitar Pabrik Inalum, sebagian Medang, desa Tasak, dan desa Lalang menemui dan meminta solusi kepada Asy-Syaikh Muhammad Zain Batubara terkait cara pencegahan-nya. Ia memberikan jawaban bahwa orang yang daerah-nya terserang wabah tersebut tidak dibolehkan keluar area-nya dan sebalik-nya juga bagi mereka yang berada diluar area agar tidak memasuki daerah tersebut. Hal ini berdasarkan pemahaman dari Hadits Nabi Muhammad SAW diatas. 

Oleh sebab itu, supaya penyebaran penyakit tersebut tidak meluas, Asy-Syaikh Muhammad Zain Batubara melakukan amalan wirid dan do'a seorang 'ulama besar Sufi yang bernama Asy-Syaikh Abdul Wahab Asy-Sya'rani.

Wirid tersebut adalah kalimat : {لاإله إلاالله أمان من الطعن محمد رسول الله طعن في الطاعون}. 

• Kalimat tersebut diwiridkan dalam dua tahap : 

1. Dilakukan di Masjid secara berjama'ah dengan bersuara, setiap setelah shalat fardhu selama tiga hari.
2. Dilakukan dengan berjama'ah, dengan berkeliling pada setiap kampung. Kampung yang dikelilingi-nya bersama jama'ah adalah desa Lalang, sebagian desa Medang, desa Tasak, dan Kampung Alai.

Cara melakukan wirid dan do'a tersebut adalah dengan terlebih dahulu membaca Surat Al-Fatihah dan menghadiahkan pahala-nya kepada tiga 'ulama : Asy-Syaikh Abdul Wahab Asy-Sya'rani, Asy-Syaikh Syamsuddin Al-Hanafi, dan Asy-Syaikh Sirajuddin Al-Bulqaini.

Menjelang seminggu setelah melakukan wirid do'a tersebut, atas izin Allah SWT, desa-desa yang dikelilingi oleh-nya tidak dimasuki wabah Tha'un.

Tulisan ini saya (Al-Ustadz Ahmad Fauzi Ilyas) nukil dari Buku karya tulis saya yang berjudul 'Syaikh Muhammad Zain Dan Kontribusi Pendidikan Islam Di Batubara : Usuluddin-Fiqih-Tasawuf' yang terbit pada tahun 2015.

Penulis : Ghozali Hasan Siregar Almandili.

Kamis, 23 Januari 2020

"Fatwa Kiai Zakwan Abdul Hamid Mengenai Suntik Penghambat Haidh Untuk Wanita Yang Akan Berhaji."

Oleh : Dr.Abdi Kurnia Djohan, SH, MH (Dosen Pasca Sarjana di Universitas Indonesia [UI] dan Wakil Sekretaris LDNU 2015-2020).

Suatu hari Kiai Zakwan Abdul Hamid, murid terakhir Asy-Syaikh Yasin Alfadani, diminta fatwa-nya oleh seorang jama'ah, perihal suntik penghambat Haidh bagi wanita yang akan berangkat Haji. Kiai Zakwan memberi jawaban singkat, 'Saya enggan berfatwa tentang masalah itu'. Jama'ah itu pun bertanya keheranan, 'Kenapa Kiai??'

Beliau memberi jawaban sebagai berikut :

1. Bahwa Haidh bagi perempuan itu sudah menjadi bagian dari ketentuan Allah terhadap manusia. Untuk apa ketentuan Allah itu dihadang dengan rekayasa medis ?

2. Permasalahan perempuan yang mengalami Haidh semasa pelaksanaan Haji, sudah ada jawaban-nya didalam Hadits Aisyah RA. Para 'ulama madzhab juga memberi penjelasan dengan panjang lebar tentang masalah itu. Lalu, apa lagi yang dicari ?

3. Jika yang dimaksud dengan suntik penghambat Haidh itu adalah agar bisa melaksanakan ibadah dengan sempurna, maka apa arti sebuah kesempurnaan apabila diawali dengan menolak ketentuan Allah ?

Poin ketiga dari penjelasan Kiai Zakwan diatas, mengingatkan kita kepada rekayasa cuaca agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan (manusia). Al-Qur'an telah berbicara tentang sikap manusia tersebut : 

(أَوَلَمۡ یَرَ ٱلۡإِنسَـٰنُ أَنَّا خَلَقۡنَـٰهُ مِن نُّطۡفَةࣲ فَإِذَا هُوَ خَصِیمࣱ مُّبِین)

Artinya : "Dan tidakkah manusia memperhatikan bahwa Kami menciptakan-nya dari setetes mani, ternyata dia menjadi musuh yang nyata."

[Q.S.Yaasiin : 77].

Penulis : Ghozali Hasan Siregar Almandili.

Selasa, 21 Januari 2020

"Polemik Hukum Jilbab Oleh Komunitas Nusantara Di Mekkah Tahun 1341 H (1922 M)."

Oleh : Al-Ustadz Ahmad Fauzi Ilyas (Direktur Pusat Studi Naskah 'Ulama Nusantara Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Arraudlatul Hasanah, Medan).

Belakangan ini (2020 M) persoalan dan polemik tentang hukum Islam terkait Jilbab bagi wanita muslimah di Indonesia kembali hangat dan mengemuka. Banyak diskusi dan perdebatan tentang ini berseliweran (bertebaran/bermunculan) dibeberapa media internet seperti Facebook dan semisal-nya.

Saya (Al-Ustadz Ahmad Fauzi Ilyas) tidak ingin masuk dalam diskusi terkait hal tersebut. Namun yang ingin saya sampaikan disini adalah fakta sejarah tentang masyarakat Nusantara di Mekkah pada tahun 1341 H/1922 M atau mungkin sebelum tahun itu telah terjadi polemik ini.

Polemik tersebut direkam secara langsung dalam sebuah Kitab berjudul 'Intishar Al-I'tisham Bi Mu'tamad Kull Madzhab Min Madzahib Al-A'immah Al-Arba'ah Al-Alam' (Pembelaan dalam perpegangan dengan mempedomani setiap madzhab dari madzhab Imam yang empat), karya Asy-Syaikh Muhammad Ali Bin Husain Al-Maliki yang merupakan seorang 'ulama Arab bermadzhab Maliki dan pernah menjadi Mufti madzhab tersebut di Mekkah, sebuah jabatan agama tertinggi dalam madzhab Fiqih. Ia juga merupakan guru bagi banyak 'ulama Nusantara, seperti Asy-Syaikh Hasan Maksum, Asy-Syaikh Sulaiman Tambusai, Asy-Syaikh Mustafa Bin Husain Bin Umar Nasution Almandili (Mandailing), dan lain-nya.

Dalam Muqadimah kitab tersebut – sebagaimana yang sudah diposting sebelum-nya – bahwa penulis-nya mengatakan, 'Pada tahun ini – maksud-nya 1341 H – sebagian Jawiyyin (komunitas Nusantara) yang bermadzhab Syafi'i menyimpang atas pendapat Atba' ('ulama Syafi'i) dalam 5 masalah, 4 madzhab dalam 12 masalah agama – salah satu-nya dalam masalah Jilbab yang menurut mereka ayat tentang-nya hanya untuk penduduk Hijaz (Mekkah-Madinah)'. Dengan adanya pendapat yang menyimpang ini menyebabkan terbelah-nya dua kelompok Nusantara yang saling berlawanan. Oleh karena-nya, sebagian mereka melaporkan hal tersebut kepada penguasa Mekkah – sebelum kerajaan Arab Saudi sekarang – yang selanjut-nya diadakanlah diskusi dan perdebatan antara dua kelompok didepan para 'ulama besar Mekkah yang dipimpin oleh 'Qadi Al-Qudhat' (ketua para 'ulama Qadi) yaitu Asy-Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Siraj Al-Hanafi dan sekaligus sebagai ketua para 'ulama Mekkah dan mufti Hanafi ditempat bernama Darul Hikmah Assunniyah dalam beberapa rapat yang akhir-nya memutuskan bahwa kelompok tersebut bersalah dan diberikan hukuman Takzir. Selain pemberian hukuman, hasil tersebut memberikan rekomendasi agar membuat buku atau kitab yang menjelaskan kekeliruan dan penyimpangan mereka. Oleh karena-nya, 'ulama madzhab Maliki ini kemudian menulis kitab ini.

Kesimpulan tentang persoalan Jilbab dalam kitab ini adalah :

1. Mayoritas 'ulama berpendapat bahwa semua anggota tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Al-Imam Abu Hanifah menambahkan selain kedua-nya, mata kaki juga tidak termasuk aurat. Sementara Al-Imam Ahmad dan Abu Bakar Bin Abdurrahman mengatakan semua-nya aurat.

2. Para Imam Mujtahid mengatakan bahwa ayat Hijab dan Jilbab bersifat umum, maksud-nya berlaku untuk semua wanita muslimah, bukan terbatas kepada penduduk Hijaz. Namun mereka berbeda dalam memaknai kata Jilbab dengan beberapa istilah yang sebenar-nya sama yaitu 'pakaian yang menutup badan'. Jilbab tersebut diartikan Rida' (pakaian lebar yang berada diatas pakaian, dalam hal ini termasuklah kata Jubah, pakaian Ihram, dan pakaian yang menutup bagian atas dalam arti ini). Selain Rida', Jilbab juga diartikan dengan Qina' (penutup muka).

3. Maksud dari penggalan ayat 'Yudnina Alaihinna' (Hendaklah mereka memanjangkan sebagian Jilbab mereka) adalah 'Mereka menutupi kepala diatas khimar.' Sebagian yang lain menafsirkan dengan 'Mereka menutupi wajah sehingga yang Nampak hanya mata kiri.'

4. Illat (alasan hukum) atas masalah ini agar diketahui mereka, adalah perempuan muslimah dari budak perempuan melalui ujung ayat 'Dzali Adna An Yufrafna Fala Yu'zain' (Yang demikian ini agar mereka diketahui sehingga tidak diganggu).

Kitab ini diberi Taqrizh (endorsmen) oleh para 'ulama besar Mekkah saat itu : Asy-Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Siraj Al-Hanafi (mufti Hanafi), Asy-Syaikh Abdullah Bin Muhammad Shaleh Zawawi (mufti Syafi'i), Asy-Syaikh Muhammad Abid Bin Husain Al-Maliki (mufti Maliki), Asy-Syaikh Umar Bajunaid Asy-Syafi'i (wakil mufti Hambali), Asy-Syaikh Said Bin Muhammad Al-Yamani, dan Asy-Syaikh Muhammad Jamal Al-Maliki.

Penulis : Ghozali Hasan Siregar Almandili.

Senin, 13 Januari 2020

"Peran Petani Bagi Negeri – Hadhratusy-Syaikh K.H.Hasyim Asy'ari."

Hadhratusy-Syaikh K.H.Hasyim Asy'asri dalam tulisan-nya menerangkan bahwa Petani adalah benteng terakhir bagi pertahanan negeri. Mengutip tulisan Muntaha dari Kitab Amalil Khuthaba, K.H.Hasyim Asy'ari menulis :

"Pendek kata, Bapak Tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah mengeloearkan belandja bagi sekalian keperloean.

Pak Tani itoelah penolong Negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang mentjari-tjari pertolongan. Pak Tani itoe ialah pembantoe Negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean Negeri, jaitoe diwaktoenja orang berbalik poenggoeng (tak soedi menolong) pada negeri; dan Pak Tani itoe djoega mendjadi sendi tempat negeri didasarkan."