Oleh : Al-Ustadz Ahmad Fauzi Ilyas (Direktur Pusat Studi Naskah 'Ulama Nusantara Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Arraudlatul Hasanah, Medan).
Belakangan ini (2020 M) persoalan dan polemik tentang hukum Islam terkait Jilbab bagi wanita muslimah di Indonesia kembali hangat dan mengemuka. Banyak diskusi dan perdebatan tentang ini berseliweran (bertebaran/bermunculan) dibeberapa media internet seperti Facebook dan semisal-nya.
Saya (Al-Ustadz Ahmad Fauzi Ilyas) tidak ingin masuk dalam diskusi terkait hal tersebut. Namun yang ingin saya sampaikan disini adalah fakta sejarah tentang masyarakat Nusantara di Mekkah pada tahun 1341 H/1922 M atau mungkin sebelum tahun itu telah terjadi polemik ini.
Polemik tersebut direkam secara langsung dalam sebuah Kitab berjudul 'Intishar Al-I'tisham Bi Mu'tamad Kull Madzhab Min Madzahib Al-A'immah Al-Arba'ah Al-Alam' (Pembelaan dalam perpegangan dengan mempedomani setiap madzhab dari madzhab Imam yang empat), karya Asy-Syaikh Muhammad Ali Bin Husain Al-Maliki yang merupakan seorang 'ulama Arab bermadzhab Maliki dan pernah menjadi Mufti madzhab tersebut di Mekkah, sebuah jabatan agama tertinggi dalam madzhab Fiqih. Ia juga merupakan guru bagi banyak 'ulama Nusantara, seperti Asy-Syaikh Hasan Maksum, Asy-Syaikh Sulaiman Tambusai, Asy-Syaikh Mustafa Bin Husain Bin Umar Nasution Almandili (Mandailing), dan lain-nya.
Dalam Muqadimah kitab tersebut – sebagaimana yang sudah diposting sebelum-nya – bahwa penulis-nya mengatakan, 'Pada tahun ini – maksud-nya 1341 H – sebagian Jawiyyin (komunitas Nusantara) yang bermadzhab Syafi'i menyimpang atas pendapat Atba' ('ulama Syafi'i) dalam 5 masalah, 4 madzhab dalam 12 masalah agama – salah satu-nya dalam masalah Jilbab yang menurut mereka ayat tentang-nya hanya untuk penduduk Hijaz (Mekkah-Madinah)'. Dengan adanya pendapat yang menyimpang ini menyebabkan terbelah-nya dua kelompok Nusantara yang saling berlawanan. Oleh karena-nya, sebagian mereka melaporkan hal tersebut kepada penguasa Mekkah – sebelum kerajaan Arab Saudi sekarang – yang selanjut-nya diadakanlah diskusi dan perdebatan antara dua kelompok didepan para 'ulama besar Mekkah yang dipimpin oleh 'Qadi Al-Qudhat' (ketua para 'ulama Qadi) yaitu Asy-Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Siraj Al-Hanafi dan sekaligus sebagai ketua para 'ulama Mekkah dan mufti Hanafi ditempat bernama Darul Hikmah Assunniyah dalam beberapa rapat yang akhir-nya memutuskan bahwa kelompok tersebut bersalah dan diberikan hukuman Takzir. Selain pemberian hukuman, hasil tersebut memberikan rekomendasi agar membuat buku atau kitab yang menjelaskan kekeliruan dan penyimpangan mereka. Oleh karena-nya, 'ulama madzhab Maliki ini kemudian menulis kitab ini.
Kesimpulan tentang persoalan Jilbab dalam kitab ini adalah :
1. Mayoritas 'ulama berpendapat bahwa semua anggota tubuh wanita adalah aurat, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Al-Imam Abu Hanifah menambahkan selain kedua-nya, mata kaki juga tidak termasuk aurat. Sementara Al-Imam Ahmad dan Abu Bakar Bin Abdurrahman mengatakan semua-nya aurat.
2. Para Imam Mujtahid mengatakan bahwa ayat Hijab dan Jilbab bersifat umum, maksud-nya berlaku untuk semua wanita muslimah, bukan terbatas kepada penduduk Hijaz. Namun mereka berbeda dalam memaknai kata Jilbab dengan beberapa istilah yang sebenar-nya sama yaitu 'pakaian yang menutup badan'. Jilbab tersebut diartikan Rida' (pakaian lebar yang berada diatas pakaian, dalam hal ini termasuklah kata Jubah, pakaian Ihram, dan pakaian yang menutup bagian atas dalam arti ini). Selain Rida', Jilbab juga diartikan dengan Qina' (penutup muka).
3. Maksud dari penggalan ayat 'Yudnina Alaihinna' (Hendaklah mereka memanjangkan sebagian Jilbab mereka) adalah 'Mereka menutupi kepala diatas khimar.' Sebagian yang lain menafsirkan dengan 'Mereka menutupi wajah sehingga yang Nampak hanya mata kiri.'
4. Illat (alasan hukum) atas masalah ini agar diketahui mereka, adalah perempuan muslimah dari budak perempuan melalui ujung ayat 'Dzali Adna An Yufrafna Fala Yu'zain' (Yang demikian ini agar mereka diketahui sehingga tidak diganggu).
Kitab ini diberi Taqrizh (endorsmen) oleh para 'ulama besar Mekkah saat itu : Asy-Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Siraj Al-Hanafi (mufti Hanafi), Asy-Syaikh Abdullah Bin Muhammad Shaleh Zawawi (mufti Syafi'i), Asy-Syaikh Muhammad Abid Bin Husain Al-Maliki (mufti Maliki), Asy-Syaikh Umar Bajunaid Asy-Syafi'i (wakil mufti Hambali), Asy-Syaikh Said Bin Muhammad Al-Yamani, dan Asy-Syaikh Muhammad Jamal Al-Maliki.
Penulis : Ghozali Hasan Siregar Almandili.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar