Sabtu, 04 April 2020

"Akad Nikah Tanpa Jabat Tangan Karena Virus (Penyakit Menular)."

Oleh : K.H.Ma'ruf Khozin (Direktur Aswaja NU Center, Jawa Timur).

Dalam pernikahan, yang harus dipenuhi selama Akad Nikah adalah (1) Suami, (2) Istri, (3) Wali, (4) Dua orang saksi, (5) Sighat atau redaksi ijab kabul.

Khusus yang bagian redaksi akad nikah ini, menurut para 'ulama Syafi'iyah memiliki syarat-syarat :

ﻭﺷﺮﻁ ﻓﻴﻬﺎ ﺇﻳﺠﺎﺏ ﻣﻦ اﻟﻮﻟﻲ ﻭﻫﻮ ﻛﺰﻭﺟﺘﻚ ﺃﻭ ﺃﻧﻜﺤﺘﻚ ﻭﻗﺒﻮﻝ ﻣﺘﺼﻞ ﺑﻪ ﻛﺘﺰﻭﺟﺘﻬﺎ ﺃﻭ ﻧﻜﺤﺘﻬﺎ ﺃﻭ ﻗﺒﻠﺖ ﺃﻭ ﺭﺿﻴﺖ ﻧﻜﺎﺣﻬﺎ

1. Penyerahan dari wali nikah seperti, 'Saya nikahkan kamu'.

2. Penerimaan secara langsung (tersambung tanpa jeda) dari suami, seperti, 'Saya menikahi-nya', 'Saya terima nikah-nya', dan 'Saya ridha menikahi-nya'. [Kitab Fathul Mu'in].

Berjabat tangan saat akad nikah antara wali nikah dengan mempelai pria adalah untuk menunjukkan makna langsung dari penyerahan dan penerimaan. Kalaupun tanpa jabat tangan oleh wali nikah setelah mengucapkan lafal akad, kemudian segera dijawab oleh calon suami-nya (mempelai pria) dengan penerimaan, maka sudah sah. Sejauh ini saya (K.H.Ma'ruf Khozin) belum menemukan kitab yang menjelaskan tata cara akad nikah ditandai dengan salaman ini. 

Artinya, berjabat tangan saat akad nikah lebih bersifat tradisi saja. Karena tradisi atau kebiasaan, maka boleh saja bila tidak dilakukan karena alasan tertentu. Mana dalil-nya ?

Al-Imam Nawawi menjelaskan perihal kebiasaan Rasulullah SAW ketika membai'at :

ﻭﺭﻭﻯ ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﺟَﺎءَ ﺇﻟَﻰ اﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻟﻴﺒﺎﻳﻌﻪ ﻓﺄﺧﺮﺝ ﻳﺪﻩ ﻓﺈﺫا ﻫﻲ ﺟﺬﻣﺎء، ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ اﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺿﻢ ﻳﺪﻙ ﻗﺪ ﺑﺎﻳﻌﺘﻚ، ﻭﻛﺎﻥ ﻣﻦ ﻋﺎﺩﺗﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ اﻟﻤﺼﺎﻓﺤﺔ ﻓﺎﻣﺘﻨﻊ ﻣﻦ ﻣﺼﺎﻓﺤﺘﻪ ﻻﺟﻞ اﻟﺠﺬاﻡ

Diriwayatkan bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW hendak berbai'at. Ternyata tangan-nya ada penyakit Judzam (kusta). Nabi, bersabda : "Masukkan tangan mu. Aku sudah membai'at mu." Nabi memiliki kebiasaan berjabat tangan namun Nabi tidak berkenan karena ada penyakit kusta. [Kitab Al-Majmu', 16/268].

Menghindari berjabat tangan karena penyakit menular dan virus sudah ada fatwa secara khusus dari 'ulama Al-Azhar, yaitu oleh Asy-Syaikh Hasanain Makhluf pada tahun 1947. Berikut kutipan fatwa-nya :

ﺳﺄﻟﻨﻰ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ اﻟﻨﺎﺱ ﺑﻤﻨﺎﺳﺒﺔ ﺗﻔﺸﻰ ﻭﺑﺎء اﻟﻬﻴﻀﺔ (اﻟﻜﻮﻟﻴﺮا) ﻓﻰ اﻟﺒﻼﺩ ﻋﻦ اﻟﺤﻜﻢ اﻟﺸﺮﻋﻰ ﻓﻰ ﺗﺮﻙ اﻟﻤﺼﺎﻓﺤﺔ ﺑﺎﻟﻴﺪ ﻋﻨﺪ اﻟﻠﻘﺎء - ﻓﺄﺟﺒﺘﻬﻢ ﺑﺄﻥ ﺩﻓﻊ اﻟﻀﺮﺭ ﻭﺩﺭء اﻟﺨﻄﺮ ﻋﻦ اﻷﻧﻔﺲ ﻭاﺟﺐ ﻟﻘﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ {ﻭﻻ ﺗﻠﻘﻮا ﺑﺄﻳﺪﻳﻜﻢ ﺇﻟﻰ اﻟﺘﻬﻠﻜﺔ}

Artinya : "Banyak orang bertanya kepada saya (Asy-Syaikh Hasanain Makhluf) perihal penularan wabah Kolera dibeberapa negara, terkait hukum meninggalkan jabat tangan saat bertemu. Saya (Asy-Syaikh Hasanain Makhluf) jawab bahwa menghindarkan keburukan pada jiwa adalah wajib, karena firman Allah : 'Dan janganlah kamu menjatuhkan diri mu sendiri ke dalam kebinasaan (Q.S.Al-Baqarah : 195)'."

ﻭﻛﻞ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻭﺳﻴﻠﺔ ﺇﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﻮ ﻭاﺟﺐ ﺷﺮﻋﺎ ﻭﻣﻦ ﺫﻟﻚ ﺗﺮﻙ اﻟﻤﺼﺎﻓﺤﺔ ﺑﺎﻷﻳﺪﻯ ﻋﻨﺪ اﻟﻠﻘﺎء ﻭﻋﻘﺐ اﻟﺘﺴﻠﻴﻢ ﻣﻦ اﻟﺼﻼﺓ ﻛﻤﺎ ﻳﻔﻌﻞ ﻛﺜﻴﺮ ﻣﻦ اﻟﻤﺼﻠﻴﻦ، ﻓﻘﺪ ﺗﻜﻮﻥ اﻟﻴﺪ ﻣﻠﻮﺛﺔ ﻭﻗﺪ ﺗﻨﻘﻞ اﻟﻌﺪﻭﻯ ﻭﻳﻨﺘﺸﺮ اﻟﻮﺑﺎء ﺑﻮاﺳﻄﺘﻬﺎ، ﻓﻤﻦ اﻟﻮاﺟﺐ ﺷﺮﻋﺎ اﺗﻘﺎء ﺫﻟﻚ ﺑﺘﺮﻙ اﻟﻤﺼﺎﻓﺤﺔ ﺻﻴﺎﻧﺔ ﻟﻷﺭﻭاﺡ ﻭﺃﺧﺬا ﺑﺄﺣﺪ ﺃﺳﺒﺎﺏ اﻟﺴﻼﻣﺔ ﻭاﻟﻨﺠﺎﺓ.

Artinya : "Setiap hal yang menjadi perantara pada kebinasaan maka wajib dihindari. Diantara-nya berjabat tangan saat bertemu atau sesudah shalat. Terkadang tangan masih kotor kemudian menular dan menyebarkan wabah penyakit karena bersalaman. Maka kewajiban-nya adalah menghindari penyebaran itu dengan meninggalkan bersalaman untuk keselamatan jiwa dan mencari aman." [Fatawa Al-Azhar, 7/240].

Penulis : Ghozali Hasan Siregar Almandili.

1 komentar: