Oleh : Tuan Guru Langkat Al-Muhaddits Al-Musnid Asy-Syaikh Muhammad Husni Ginting, Lc, DIPL.
Para 'Ulama berbeda pendapat dalam masalah Dadu dan Catur, sebagian mereka menyamakan hukum dadu dan catur, sebahagian-nya lagi membedakan antara dadu dan catur. Perbedaan ini disebabkan karna apakah catur dapat diqiyaskan dengan dadu atau tidak, permasalahan ini akan kami jelaskan dengan hadits yang telah diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim, Al-Imam Abu Dawud, dan Al-Imam Ibnu Majah, sebagai berikut.
A. Permainan Dadu.
Telah datang riwayat yang shahih dari Rasulullah SAW yang telah melarang permainan dadu :
Sebagaimana kami riwayatkan dengan sanad kami kepada Al-Imam Muslim dari sahabat Nabi, Buraidah RA :
من لعب بالنردشير فكأنما صبغ يده في لحم خنزير ودمه
Artinya : "Siapa orang yang bermain dadu, seolah-olah telah mencelupkan tangan-nya kepada daging babi dan darah-nya." [H.R.Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah].
Dari hadits ini, Jumhur ( kebanyakkan ) 'ulama yang terdiri dari Al-Imam Malik, Al-Imam Syafi'i , Al-Imam Ahmad, dan yang lain-nya berpendapat bahwa bermain dadu hukum-nya haram, dengan alasan bahwa meletakkan tangan kepada daging dan darah babi merupakan permisalan untuk memakan-nya, sementara memakan-nya adalah perbuatan Haram. Rasulullah SAW telah menyamakan orang yang bermain dadu dengan orang yang meletakkan tangan-nya ke dalam daging dan darah babi.
Berkata Al-Imam Nawawi didalam Syarah Shahih Muslim : "Hadits ini merupakan hujjah bagi Al-Imam Syafi'i dan jumhur (kebanyakan) 'ulama dalam pengharaman bermain dadu."
Sementara sebagaian 'ulama ada yang berpendapat bahwa bermain dadu bukan merupakan hal yang haram, tetapi makruh, diantara 'ulama yang berpendapat bahwa dadu bukan permainan yang haram adalah Abu Ishaq Marwazi.
• Pendapat Yang Kuat :
Pendapat yang kuat adalah haram-nya bermain dadu, sebab jelas-nya hadits Rasul yang melarang bermain dadu dan shahih-nya hadits tersebut.
B. Permainan Catur.
Sedangkan dalam masalah permainan catur para 'ulama berbeda pendapat.
(1). Jumhur 'ulama yang terdiri dari Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad, dan yang lain-nya berpendapat bahwa bermain catur haram sebagai khiasan dari permainan dadu yang telah dilarang oleh Rasulullah SAW.
Khasan ini diperkuat dengan hadits mursal yang telah dikeluarkan oleh Abdan, Abu Musa, dan Ibnu Hazm yang telah diriwayatkan oleh Habbah Bin Muslim :
ملعون من لعب بالشطرنج والناظرإليها كالآكل لحم الخنزير
Artinya : "Terkutuklah orang yang bermain catur, dan orang yang melihat catur seperti orang yang memakan daging babi."
Andaikan hadits ini shahih, niscaya akan menjadi pemutu dari ikhtilaf-nya 'ulama tentang hukum catur, tetapi hadits ini derajat-nya Dha'if (lemah).
(2). Sementara Al-Imam Syafi'i berpendapat bahwa bermain catur tidaklah seperti bermain dadu, sebab itu beliau berpendapat bahwa bermain catur merupakan perkara yang makruh, hal ini telah diriwayatkan oleh sekumpulan 'ulama tabi'in.
Berkata Al-Imam Syafi'i : "Dimakruhkan (bermain catur), tidak diharamkan. Hal ini jika tidak dengan menjadikan-nya judi, dan tidak selalu bermain catur, serta tidak meninggalkan kewajiban. Jika dijadikan permain catur itu dengan judi, selalu bermain catur, dan meninggalkan kewajiban, maka hukum-nya haram secara 'Ijma 'ulama.
• Pendapat Penulis :
Penulis (Tuan Guru Langkat Asy-Syaikh Muhammad Husni Ginting) lebih condong dengan pendapat bahwa bermain catur merupakan hal yang haram, sebagaimana pendapat jumhur 'ulama, dengan beberapa sebab :
(1). Khiasan catur dengan dadu, kedua-duanya merupakan permainan yang selalu membuang-buang waktu dan selalu dijadikan bagian dari perjudian.
(2). Islam mengajarkan kepada kita agar senantiasa menghormati waktu dan mempergunakan-nya dengan sebaik-baiknya, sementara bermain catur merupakan wujud dari tidak menghormati waktu dengan sebaik-baiknya.
(3). Banyak-nya orang-orang yang bermain catur lupa dengan segala kewajiban.
(4). Al-Imam Syafi'i telah meletakkan syarat agar main catur tidak menjadi haram, tetapi ketiga syarat itu telah ditentang oleh kebanyakan para pemain catur, dengan menjadikan-nya perjudian, permainan yang selalu dimainkan, sehingga melupakan segala kewajiban.
• Rujukkan :
(1). Kitab Syarah Shahih Muslim, Oleh Al-Imam Nawawi, Jilid V, Juz XV, Hal.15, Terbitan Amiriyyah, 1417 -1996.
(2). Kitab Kawakibul Wahhaj Wa Raudal Bahhaj, Fii Syarhi Shahih Muslim Bin Al-Hajjaj, Oleh Guru Kami Asy-Syaikh Muhammad Amin Bin Abdullah Al-Harari, Jilid XX, Hal.417, Terbitan Darul Minhaj, Cetakkan Pertama, 1430-2009.
(3). Kitab Shahih Muslim, Oleh Al-Imam Muslim Bin Al-Hajjaj, Hal.643, Terbitan Alfa, Cetakkan Pertama, 2008.
(4). Kitab Al-Jami' Ash-Shaghir Fii Ahaditsi Basyirinnadzir, Juz II, Hal.157, Terbitan Dar Ihya' Kutubul Arabiyah, Indonesia.
(4). Kitab Al-Jami' Ash-Shaghir Fii Ahaditsi Basyirinnadzir, Juz II, Hal.157, Terbitan Dar Ihya' Kutubul Arabiyah, Indonesia.
Penulis : Ghozali Hasan Siregar Almandili.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar