Ada segenap orang yang membid'ahkan amal ibadah yang berdalilkan dengan Hadits Dha'if.
Pendapat yang macam begini adalah keliru kalau tidak akan dikatakan salah besar.
Hadits yang Dha'if bukanlah Hadits yang Maudu' (hadits dibuat-buat), tetapi hanya Hadits yang lemah sanad-nya, dan bukan Hadits yang tidak benar, bukan Hadits bohong, karena asal-nya tetap dari Nabi SAW juga. Hadits yang dikatakan Dha'if atau lemah ini ialah Hadits yang derajat-nya kurang sedikit dari Hadits Shahih atau Hadits Hasan.
Hal ini dapat dicontohkan umpama-nya kepada sebuah Hadits dari Nabi SAW, kemudian turun kepada Mansur, turun lagi kepada Zaid, turun lagi kepada Khalid, dan akhir-nya turun kepada Ibnu Majah atau Abu Dawud.
Ibnu Majah atau Abu Dawud membukukan Hadits itu didalam kitab-nya.
Kalau orang yang bertiga tersebut, yaitu Mansur, Zaid, dan Khalid terdiri dari orang baik-baik, dengan arti baik perangai-nya, shaleh orang-nya, tidak pelupa akan hafalan-nya, maka Hadits-nya itu dinamai Hadits Shahih.
Tetapi kalau ketiga-nya atau salah seorang dari pada-nya terkenal dengan akhlak-nya yang kurang baik, umpama-nya pernah makan dijalanan, pernah buang air kecil berdiri, pernah suka lupa akan hafalan+nya, maka Hadits-nya dinamai Hadits Dha'if (lemah).
Pada hakikat-nya Hadits yang semacam ini adalah dari Nabi SAW juga, tetapi 'Sanad-nya' kurang baik. Bukan Hadits-nya yang kurang baik.
Ada lagi yang menyebabkan Hadits itu menjadi Dha'if, ialah hilang salah seorang daripada Perawi-nya.Umpama-nya seorang Tabi'in yang tidak berjumpa dengan Nabi mengatakan, 'Berkata Rasulullah', padahal ia tidak berjumpa dengan Nabi.
Hadits ini dinamai Hadits Mursal, yaitu Hadist yang dilompatkan ke atas tanpa melalui jalan yang wajar. Hadits ini ialah Dha'if juga.
Dan banyak lagi yang menyebabkan dan membuat sesuatu Hadits menjadi Dha'if atau lemah.
Tentang memakai Hadits Dha'if untuk dijadikan dalil, terdapat perbedaan pendapat diantara Imam-Imam Mujtahid, yaitu :
[1]. Dalam Madzhab Syafi'i, Hadits Dha'if tidak dipakai untuk dalil bagi Penegak Hukum, tetapi dipakai untuk dalil bagi 'Fadhailul A'mal'. Fadhailul A'mal maksud-nya ialah amal ibadah yang Sunnah-Sunnah, yang tidak bersangkut dengan orang lain, seperti dzikir, do'a, tasbih, wirid, dan lain-lain. Hadits Mursal tidak dipakai juga bagi Penegak Hukum dalam Madzhab Syafi'i, karena Hadits Mursal juga Hadits Dha'if. Tetapi dikecualikan Mursal-nya seorang Tabi'in bernama Said Ibnul Musayyab.
[2]. Dalam Madzhab Hambali lebih longgar. Hadits Dha'if bukan saja dipakai dalam Fadhailul A'mal, tetapi juga bagi Penegak Hukum, dengan syarat Dha'if-nya itu tidak keterlaluan.
[3]. Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad memakai Hadits yang Dha'if karena Mursal, baik untuk Fadhailul A'mal maupun bagi Penegak Hukum.
Nah, disini nampak bahwa Imam-Imam Mujtahid memakai Hadits-Hadits Dha'if untuk dalil, karena Hadits itu bukanlah Hadits yang dibuat-buat, tetapi hanya lemah saja sifat-nya.
Karena itu tidaklah tepat kalau amal-amal ibadah yang berdasarkan kepada Hadits Dha'if dikatakan Bid'ah, apalagi kalau dikatakan Bid'ah Dhalalah.
[Buku 40 Masalah Agama, Jilid III, Karangan K.H.Siradjuddin Abbas].
Penulis : Ghozali Hasan Siregar Almandili.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar