Sunan Ampel lahir di Champa, Aceh, tahun 1404, dan wafat di Ampel 1481.
Beliau adalah penerus cita-cita dan perjuangan Sunan Maulana Malik Ibrahim. Sunan Ampel terkenal sebagai perancang pertama Kerajaan Islam di Jawa. Dia yang mengangkat Raden Fatah sebagai Sultan Demak.
Karamah yang dimiliki-nya cukup banyak. Hal ini diceritakan di dalam 'Babad Tanah Jawi', bahwa pernah penguasa Madura bernama Lembu Peteng mengusir dua orang 'Ulama utusan Sunan Ampel, Khalifah Usen dan Asy-Syaikh Ishak.
Bahkan tak cukup mengusir kedua-nya utusan itu. Dikisahkan Lembu Peteng telah datang ke Ampeldenta, menyamar dan berbaur dengan santri.
Saat Shalat Isya akan dimulai, Lembu Peteng bersembunyi di Kulah, Tempat wudhu. Sewaktu ia melihat Sunan Ampel, ia mendekat dan menikamkan sebilah Keris yang sudah dihunus. Namun usaha itu gagal, dan Lembu Peteng dikisahkan mau memeluk Islam setelah Peristiwa Tersebut. (Agus Sunyoto, 2014 : 162).
Melalui kisah tersebut, Penulis mengambil hikmah bahwasanya Karamah daripada Sunan Ampel ada pada diri-nya setelah ia memiliki maqamat-maqamat. Maqam yang paling terasa yaitu Sabar dan Ikhlas dalam menyampaikan ajaran Rasulullah.
Sehingga dari dua maqam tersebut, Allah memberikan karamah kepada diri-nya, berupa perlindungan dari orang-orang yang berusaha ingin membunuh dan mengancam diri-nya.
Maka dari itu realitas karamah yang dimiliki oleh Sunan Ampel tersebut bukan tanpa sebab. Pengajaran yang disampaikan oleh-nya sudah dilaksanakan oleh-nya. Misalnya Sunan Ampel mengajarkan tentang Zuhud kepada penduduk Jawa Timur kala itu. Sebelum ia mengajarkan kepada masyarakat setempat, ia melakukan kehidupan Zuhud terlebih dahulu setelah itu diikuti sifat Wara'.
Hal tersebut terlihat dari kata-kata Beliau :
"Ona dhahar ora guling, anyegah ing hawa, ora sareing wenging, ngibadah maring Pangeran, Fardhu sunat katinggal, sarwa nyegah haram nakruh, tawajuhe muji ing Allah." (Agus Sunyoto, 2014 :162).
Artinya : "Tidak makan tidak tidur, mencegah hawa nafsu, tidak tidur malam untuk beribadah kepada Allah, fardhu dan sunnah tak ketinggalan, serta mencegah yang haram maupun yang makruh, Tawajuh memuji Allah."
Tak luput, Sunan Ampel bertawassul kepada Rasulullah, dan Ahlul Bait-nya sebagai wasilah (perantara) untuk meminta pertolongan dan Syafa'at dari-nya. Tawassul tersebut berupa pembacaan Qasidah-Qasidah yang memuji Nabi Muhammad SAW, dan Ahlul Bait; Si'iran (syair) yang memuji Sayyidinaa Ali Bin Abi Thalib dan keturunan-nya, serta Wirid-Wirid yang diamalkan oleh kalangan Muslim di Jawa.
Acara-acara yang biasa-nya menempatkan tawassul tersebut biasa-nya pada acara perayaan 1 dan 10 Syura', tradisi Rebo Wekasan atau Arba'a akhir dibulan Safar, dan acara Nisfu Sya'ban. (Agus Sunyoto, 2014 : 164).
Melalui narasi diatas menandakan bahwa Sunan Ampel ingin mengajak masyarakat kala itu untuk mencintai Nabi dan keluarga-nya. Sebagaimana Ali Al-Athas berkata, "Dari tanda-tanda yang menunjukkan kebenaran Iman yaitu cinta kepada Sayyidinaa Ali, dan seluruh kerabat Nabi Muhammad SAW, karena mereka termasuk kerluarga dan masih mengalir darah Nabi Muhammad SAW."
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad, "Wahai seluruh manusia, Aku mewasiatkan kepada kalian untuk mencintai kepemilikan Ku, dan ia suami dari Siti Fatimah yaitu saudara Ku, anak paman Ku, Ali Bin Abi Thalib. Sesungguh-nya Ali tidak mencintai seseorang kecuali ia seorang Mukmin, dan Ali tidak membenci seseorang kecuali ia seorang Munafik. Siapa yang mencintai-nya maka sungguh ia telah mencintai Ku, dan siapa yang memusuhi-nya maka ia sungguh telah memusuhi Ku." (Ali Al-Athas, 2004 : 458).
Pengajaran dan penyampaian Sunan Ampel membawa pengaruh pada sisi Sosio Kultural pada masyarakat setempat yang dahulu-nya mengamalkan ajaran Hindu-Budha. Pengaruh itu bisa dirasakan disaat Modern sekarang masih berlangsung-nya acara-acara seperti yang telah disebutkan sebelum-nya. Artinya dakwah Sunan Ampel telah berhasil membumi ditanah Jawa.
Penulis : Ghozali Hasan Siregar Almandili.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar